Bagi Kusmayanto Kadiman, Rektor ITB, pergi ke Tanah Suci merupakan pengalaman yang mendebarkan. Sebelumnya, ia mengaku hanya bisa membayangkan bagaimana keadaan di Tanah Suci Makkah. Namun, setelah merasakan sendiri berdiri di depan Ka’bah, ia tidak bisa mengatakan apa-apa selain berucap syukur ke hadiratNya. ”Saya gemetar, merinding, segala rasa bercampur aduk. Sebelumnya saya hanya membayangkan saja. Tetapi ketika sudah berada di depannya, air mata mengalir sendiri, tidak bisa dihentikan,” ungkapnya, ketika ditemui Republika beberapa waktu lalu. Kusmayanto yang pergi ke Tanah Suci tahun 1997 bersama istrinya itu mengaku, ada perasaan hangat ketika menyentuh dinding Ka’bah. Ia benar-benar merasa berada di hadapan Allah SWT. Sehingga, pengalaman itu menjadi sebuah pengalaman yang tidak akan pernah bisa dilupakan. Pengalaman lain yang terus melekat dalam ingatannya sampai saat ini adalah, ketika diberi mandat untuk menjadi kepala rombongan. Sebab, menggalang massa ternyata memberi suatu pelajaran yang sangat berharga, yaitu tentang kesabaran dan tawaqal. ”Kalau kepala rombongan itu lebih banyak memimpin masalah ritual saja, tetapi ketika itu saya sekaligus mengendalikan manajemen krisisnya. Dan saya tahu kalau saya memiliki kemampuan dalam bidang itu,” ungkapnya. Namun demikian, kata Kusmayanto, pekerjaan itu ternyata tidak mudah baginya. Sebab memimpin rombongan haji jauh berbeda dengan memimpin mahasiswa, atau lingkungan perguruan tinggi (PT). Sebagai pimpinan di PT, Kusmayanto berhak untuk memberikan perintah kepada anak buahnya. Jika perintahnya tidak dilaksanakan, ia berhak memberikan sanksi. Namun, dalam lingkungan jamaah haji, hal itu jelas tidak mungkin dilakukan. ”Di sini mental dan kesabaran saya benar-benar ditempa dan diuji. Saya harus memberikan pengertian kepada mereka untuk melakukan sesuatu yang saya suruh. Itu pun ternyata tidak gampang,” ungkapnya. Ayah dari tiga orang anak ini mencontohkan, ketika kendaraan yang ditumpangi terjebak kemacetan misalnya. Ia pun berinisiatif meminta agar rombongannya berjalan kaki menuju tempat tujuan. Tapi apa akibatnya? Respon keras pun berdatangan dari anggota rombongan. Bahkan tidak sedikit yang emosi. menghadapi keadaan seperti itu, Kusmayanto mencoba tetap sabar dan memberi pengertian. ”Saya bilang, kalau kita tetap disini, enam jam pun belum tentu sampai. Tetapi kalau kita berjalan, Insya Allah 45 menit bisa sampai tujuan,” kenangnya. Terlebih lagi, di antara anggota rombongannya terdapat beberapa jamaah yang sudah berusia tua dan tidak sanggup lagi berjalan. Oleh karena itu, Kusmayanto meminta bantuan teman-temannya yang berbadan sehat untuk membantunya.”Dengan cara seperti itu membuat rombongan kami tidak terjebak macet, dan lebih cepat sampai tujuan. Itulah buahnya kesabaran.” Selain harus sabar dan tawakal, menjadi ketua rombongan juga membuat Kusmayanto tidak dapat menajalankan ritual haji sebanyak jamaah lainnya. Sebab, ada saja yang harus deikerjakannya. Bahkan ia harus bolak-balik ke rumah sakit mengantar salah satu anggotanya yang melakukan cuci darah. Meskipun demikian, lagi-lagi Kusmayanto memetik satu pelajaran cukup berharga tentang kesabaran dan tawakal dalam melayani umat Allah di Tanah Suci. Beberapa tahun sesudahnya, Kusmayanto kembali mengunjungi Ka’bah untuk umrah, bersama keluarga dan besannya. Pejalanan kali ini, dilakukan untuk menikahkan anak keduanya, Tantri, dengan pemuda pilihannya di Tanah Suci. ”Pernikahan di Tanah Suci itu, merupakan keinginan mereka, saya sebagai ayah ya tentu merasa bangga. Apalagi umumnya, pernikahan itu sudah dianggap sebagai budaya yang harus diselenggarakan secara mewah, tapi tidak bagi mereka ”katanya. Bagi Kusmayanto, pernikahan di Tanah Suci yang berlangsung sederhana itu , diharapkan bisa menjadi contoh bagi sebagian orang di Indonesia yang cenderung suka bermewah-mewah dalam nelaksanakan hajatnya. Selain makna pernikahannya tetap terjaga, pemborosan uang untuk pesta pora bisa diminimalisir. Selain melaksanakan upacara pernikahan, acara yang berlangsung bulan November 2003 itu, kedua keluarga juga melangsungkan umrah, dan pulang setelah sembilan hari kemudian. ”Anakku itu bilang, dari pada mewah-mewah, lebih baik uangnya digunakan untuk hal lain saja. Selain untuk umrah, mereka ingin agar sebagian uangnya dipergunakan untuk pembayaran DP rumah mereka yang baru,”tambah Kusmayanto sambil menambahkan, untuk bulan madu, pasangan itu memilih mengelilingi tempat-tempat bersejarah baik di Tanah Suci maupun Tanah Air. Kepada Republika Kusmayanto mengungkapkan keinginannya untuk kembali pergi ke Tanah Suci tahun 2006 mendatang, bersamaan dengan masa akhir jabatannya sebagai Rektor ITB ,”Kepergian saya ke Tanah Suci tahun 2006 itu sebagai wujud syukur saya setelah meletakkan jabatan sebagai Rektor ITB. Saat itu saya akan sujud syukur kepada Allah,” katanya sambil tersenyum.mth/dokrep/Januari 2004






0 komentar:
Posting Komentar